Dengan difasilitasi oleh media yang sebagian besar tidak (perlu) dipertanyakan (kredibilatasnya), pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo telah menjadi master dalam permainan asap dan cermin, yang dalam bentuknya yang sederhana adalah tentang meyakinkan masyarakat bahwa segala sesuatunya terjadi saat sesungguhnya tidak terjadi (apa-apa).
Perundingan yang berlarut-larut dengan raksasa pertambangan AS Freeport McMoran Copper & Gold adalah contoh yang bagus. Namun kembali ke masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, permainan yang menipu telah mencakup segala hal mulai dari daging sapi sampai sumber daya alam hingga infrastruktur.
Meskipun bukan hal baru, secara resmi (tujuan dari) kebingungan dan “hiasan” kebenaran telah menjadi lebih jelas adalah (terkait) pileg dan pilpres 2019. Presiden Joko Widodo dan para mastermind istananya melihat adanya keperluan untuk menampilkan prestasinya.
Presiden SBY pernah memainkan
permainan ini pada pertengahan tahun 2011 ketika pemerintah Australia
menangguhkan ekspor ternak langsung ke Indonesia mengenai masalah perlakuan-hewan,
dan Jakarta memutuskan suatu tindakan balasan dengan memerintahkan pelarangan impornya
sendiri.
Kebijakan yang dilakukan Presiden
Jokowi, dalam dua tahun (direncanakan) akan mengurangi impor sapi setengahnya
dan (Pemerintah) berusaha meyakinkan konsumen bahwa industri lokal dapat
mengisi kesenjangan saat harga naik - dan (masih) sebagai salah satu negara
dengan tingkat konsumsi daging per kapita terendah di Asia - jelas hal tersebut
menunjukkan hal yang tidak mungkin.
Melaju jauh ke proyek rel kereta
cepat Jakarta-Bandung senilai US $ 5,8 miliar yang di back-up oleh China.
Proyek ini pernah dilihat sebagai contoh program infrastruktur ambisius Presiden
Joko Widodo dan sekarang terhenti karena masalah pembebasan lahan yang
seharusnya sudah dapat diperkirakan.
Langsung memulai proyek itu, bukan
karena intuk mencoba. Presiden Joko Widodo menghadiri upacara peletakan batu
pertama pada bulan Januari 2016, hanya untuk melihat Menteri Transportasi Jonan
Ignasius menghentikan proyek tersebut lima hari kemudian karena beberapa
"masalah yang belum terselesaikan".
Presiden Joko Widodo dan China tidak
Senang. Pada bulan Juli, bulan yang sama saat izin konstruksi untuk proyek
tersebut akhirnya dikeluarkan, Ignasius (Jonan, Mantan CEO PT. Kareta Api Indonesia)-
dipecat begitu saja.
Presiden seharusnya sudah mengambil
pelajaran serupa. Pada pertengahan 2015, dia telah memimpin ground-breaking pembangkit
listrik Batang-yang didanai Jepang di Jawa Tengah senilai $ 4 miliar, hanya
untuk berhadapan dengan petani setempat yang masih menolak untuk menjual tanahnya.
Pengadilan akhirnya memutuskan
permasalan kereta api, namun proyek kereta api cepat tersebut tetap tidak
berjalan baik, meski ada upaya Menteri Negara BUMN Rini Soemarno, yang baru
saja tampil Juli lalu untuk mengadakan ground breaking lainnya - yang satu ini
merupakan terowongan. –(cek tirto, proyek mangkrak, biaya membengkak, cz52)
Akan tetapi, dibutuhkan banyak hal
untuk mengalahkan keseluruhan kisah (saga) Freeport, yang dimulai dengan
kesepakatan kerangka kerja tahun lalu, yang pada saat itu merupakan kemenangan
besar bagi pemerintah Presiden Joko Widodo dalam memaksa perusahaan tersebut
untuk menyetujui divestasi 51% sahamnya di anak perusahaannya.
Mungkin begitu, tapi sepertinya
tidak ada yang memperhatikan bahwa celah (iblis) itu ada di cetakan kecil. Sebenarnya,
media Indonesia gagal menunjukkan bahwa pada saat itu pertanyaan maha penting
mengenai penilaian dan pengendalian manajemen belum diselesaikan.
Sedikit mengejutkan kemudian bahwa
negosiasi berlanjut, diselingi sering kali dengan pernyataan meyakinkan oleh
pejabat senior pemerintah bahwa kesepakatan final akhir sudah mengerucut.
Kerucut yang sangat panjang.
Sejauh ini, setidaknya ada empat
tenggat waktu yang diberlakukan pemerintah, semuanya didasarkan pada perpanjangan
izin Freeport yang memungkinkannya untuk terus mengekspor konsentrat tembaga
dari tambang Grasberg, di Dataran Tinggi Papua. Yang berikutnya adalah di bulan
Juni.
Menolak izin tersebut jelas tidak
hanya akan menggerus keuntungan perusahaan, tetapi juga akan memotong secara
mendalam pendapatan pemerintah. Dan mungkin yang lebih penting, menyebabkan PHK
pekerja yang dapat memicu kerusuhan di wilayah Papua yang saat ini sudah tidak
stabil.
Dalam pertunjukan dan tayangan
terakhir, pemerintah minggu lalu secara seremonial menandatangani sebuah nota
kesepahaman dimana mereka akan menyerahkan 10% saham Freeport Indonesia yang masih
harus diperoleh ke pemerintah provinsi Papua.
Perputaran mesin pemerintah juga
baru-baru ini beralih ke proyek gas alam Marsela di Indonesia bagian timur,
yang untuk beberapa alasan, bahkan beberapa politisi senior Indonesia tidak
dapat membayangkannya, Presiden Joko Widodo ingin mengembangkan di sebuah pulau
terpencil yang jarang dihuni.
Mitra usaha patungan Inpex dan Shell
telah meninggalkan jejak mereka, dengan alasan bahwa hanya fasilitas lepas
pantai yang masuk akal, mengingat medan di bawah laut dan kurangnya
infrastruktur yang ada.
Dengan proyek yang seolah nampak
terlupakan, pemerintah mengumumkan awal bulan ini bahwa para mitra tersebut
sedang mengerjakan rencana terperinci untuk pabrik darat yang akan selesai pada
akhir tahun ini. Meskipun , tidak ada pernyataan apapun dari perusahaan terkait.
"Pejabat tersebut berbicara
atas nama perusahaan, tanpa perusahaan mengetahui apapun tentang hal itu,"
kata seorang veteran minyak Indonesia. "Itu politik, tapi bagi saya
sebagai industrialis, ini sangat mengganggu."
Perusahaan minyak Raksasa Prancis,
Total juga memperlihatkan sikap diam yang sama sejak perusahaan minyak Pertamina
yang dikelola negara, mengklaim bahwa Pertamina ingin kembali ke (blok) ladang
gas Mahakam, yang harus ditinggalkan Total ketika kontraknya berakhir pada
Desember 2017 lalu.
Sebenarnya, dengan sedikit uang
untuk mempertahankan Blok Mahakam, pemerintahlah yang telah menawarkan Total
bunga partisipasi 39% yang sedikit lebih tinggi untuk menariknya kembali
sebagai mitra di lapangan selama lebih dari 40 tahun.
Presiden Joko Widodo juga
mengadopsi “politik” Sapi Presiden SBY, yang merupakan bagian dari program
swasembada ekonomi di mana dengan sedikit perencanaan dan banyak angan-angan,
Indonesia berharap bisa menghasilkan semua daging sapi, nasi, gula, jagung dan
kedelai sendiri.
Pada tahun 2015, dengan bangga
diumumkan bahwa proporsi impor daging sapi terhadap total konsumsi turun dari
31% menjadi 24%, tanpa ada yang mencatat bahwa orang Indonesia hanya makan 2,7
kilogram per tahun, tingkat per kapita terendah di wilayah ini.
Setahun kemudian, angka tersebut
telah meningkat kembali menjadi 32% dan tahun lalu meningkat lagi menjadi 41%
dengan harga daging sapi sebesar US $ 10 per kilogram dan pejabat mengetahui
dengan jelas, bahwa target swasembada Presiden Joko Widodo selama lima tahun
ini tidaklah mungkin tercapai.
Sekali lagi, berikut masih berhubungan
erat dengan masalah itu. Dengan mengimpor beras, terlihat mirip sebagai
kejahatan oleh beberapa kalangan nasionalis, pemerintah masa lalu sering
dipaksa untuk mengakui (jika ada yang mendengarkan) bahwa pencapaian swasembada
beras Indonesia hanyalah mitos belaka.
Itu akan bergulir ke dalam kuburan
mantan Presiden Soeharto, yang berhasil mencapai swasembada beras pada awal
tahun 1980an dengan perencanaan yang matang dan sejumlah program terkoordinasi.
Cepat atau lambat, asap akan hilang
dan cermin pasti akan terangkat untuk mengungkapkan realitas yang sulit.
Translated - Source
John Mc Beth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar